Jumat, 22 November 2013

KEKUATAN DO'A

Dalam sebuah riwayat diceritakan ketika sahabat datang menemui Rasulullah dan berkata, ''Ya Rasulullah, saya terbelit utang, tolonglah saya.'' Tak berselang lama, sahabat lain juga datang dan mengadukan hal yang sama, ''Ya Nabiullah, saya tidak punya uang.'' Selanjutnya, kepada yang kedua, Rasulullah memberikan sebuah kapak dan memerintahkan sahabat tersebut pergi mencari kayu bakar untuk dijual di pasar, sedangkan kepada sahabat yang pertama Rasulullah tidak memberikan apa-apa kecuali hanya mengajarkan sebuah doa untuk diamalkan, ''Ya, Allah aku berlindung dari perasaan gundah gulana, lilitan utang, dan intimidasi orang-orang kuat.'' Penggalan kisah di atas mengandung suatu pelajaran yang sangat dalam bahwa ketika sahabat mengadukan kondisinya yang pailit dan dililit utang serta kesulitan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, secara gamblang bisa kita pahami pada intinya mereka berharap Rasululah memberikan uang sesuai dengan kemampuan beliau. Tapi, di luar dugaan mereka, Rasulullah tidak memberikan uang, tapi hanya memberikan sebuah kapak dan sebuah doa. Tentu saja bukan berarti Rasululah tidak punya uang, tapi Nabi ingin mendidik sahabat beliau dengan memberikan pelajaran. Pertama, perilaku minta-minta adalah sifat yang dibenci Allah, karena merupakan perendahan harga diri di depan manusia, menghilangkan rasa malu, dan yang terpenting pasti akan membelenggu diri untuk kebiasaan buruk, akan menjadi orang tidak mau berusaha. Seandainya Rasulullah memberikan uang, pasti sahabat tersebut akan datang lagi ketika kembali kehabisan uang. Kedua, Rasulullah ingin mendidik mental para sahabat beliau, dan kita umatnya, agar jangan bermental rendah diri dan selalu bergantung kepada orang lain, walaupun itu saudara sendiri. Ketika mental sudah terdidik selalu mengandalkan utang, berarti kita sudah membelenggu otak dan pikiran untuk tidak mau berusaha mendapatkan uang dengan cara lain. Sikap mental manusia adalah unsur penting dalam meraih keberhasilan. Seseorang yang bermental pantang menyerah tentulah dalam setiap usaha akan selalu berusaha keras dan setiap rintangan hanya dianggap cobaan kecil dan anak tangga untuk meraih keberhasilan. Sebaliknya, seseorang yang bermental korup sudah tentu di setiap detik yang terlintas dalam pikirannya bagaimana hari ini mendapatkan uang banyak dan metode apalagi yang harus diterapkan. Ini menunjukkan sikap sangat pengecut karena takut miskin dan sekaligus musyrik karena tidak percaya rezeki dari sang pencipta. Di akhir riwayat, kedua sahabat tersebut mendatangi Rasulullah kembali dan mengatakan bahwa mereka sudah tidak punya utang lagi dan sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Terbukti bahwa doa memberikan motivasi diri untuk melepaskan diri dari belenggu utang yang merupakan sumber gundah gulana. Dan juga doa dijadikan senjata orang beriman, yang berarti merupakan bekal dan sekaligus tameng untuk menghadapi kesulitan hidup yang kita temui. Allah berjanji mengabulkan setiap doa hambanya di dunia atau akan menjadi simpanan di akhirat kelak. Doa merupakan permohonan atau permintaan hamba kepada Allah SWT dengan menggunakan lafal yang dikehendaki dan memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Doa adalah inti ibadah yang melaluinya Muslim menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT. Doa sebagai pernyataan kelemahan Muslim di hadapan Allah dan cara untuk mengingat-Nya. Doa juga senjata Muslim, tiang agama, cahaya langit dan bumi. Doa dibutuhkan setiap orang dalam kehidupan guna menghilangkan rasa cemas dan menumbuhkan harap kepada Yang Maha Pemurah. Bukankah berharap kepada makhluk, betapapun kuat dan berkuasa, seringkali tidak mendatangkan hasil. Hanya Allah yang mampu memberikan hasil. Allah berfirman, ''Dan orang-orang yang kamu seru selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.'' (QS 35: 13-14). Dalam Alquran diisyaratkan bahwa terkabulnya doa terkait dengan kesungguhan Muslim dalam berdoa. Dan tidak terkabulnya doa, boleh jadi karena yang bermohon kepada Allah belum dinilai benar-benar berdoa. Firman Allah SWT, ''Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.'' (QS 40:60). Konsistensi Muslim menjalankan Islam menentukan terkabulnya doa. Orang yang terlibat dengan hal yang haram doanya tidak dikabulkan Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Seorang laki-laki yang telah jauh perjalanannya, berambut kusut, penuh dengan debu, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit, dan berkata, 'Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku', sedangkan makanan, minuman, dan pakaiannya haram, serta dikenyangkan dengan barang haram, maka bagaimana akan dikabulkan permintaannya (doanya).'' (HR Muslim). Pengabulan doa oleh Allah terkait dengan iman dan pengakuan seseorang atas keesaan-Nya. Ini harus disertai dengan keyakinan bahwa Allah akan memilih yang terbaik untuk dirinya. Allah berfirman, ''Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.'' (QS 2:186). Allah tidak menyia-nyiakan doa hamba-Nya, tetapi boleh jadi Dia memperlakukannya seperti seorang ayah kepada anaknya. Sekali memberi sesuai permintaannya, dan kali lain diberinya yang lain. Tetapi, tidak jarang Allah menolak permintaan hamba-Nya dan memberi sesuatu yang lebih baik pada masa mendatang. Kalau tidak di dunia, maka di akhirat kelak. Muslim tidak boleh beranggapan doa yang tidak dikabulkan sebagai kemurkaan Allah, tetapi keagungan rububiyah-Nya. Dia tidak hanya ingin membuat manusia rela, tetapi menghendaki yang lebih baik baginya. Ketulusan, prasangka baik, percaya penuh kepada Allah, dan kebenaran janji-janji-Nya, merupakan kunci dikabulkannya doa. Jangankan Muslim yang tulus, setan pun dikabulkan Allah doanya ketika memohon dipanjangkan usia hingga hari kebangkitan. Wallahu a'lam.

Rabu, 13 November 2013

HORMATI HAK ANAK-ANAK KITA UNTUK MASA DEPAN

Siapa bilang anak tak punya hak dalam keluarga? Bahkan seorang balita pun tetap memiliki hak-hak yang wajib dihormati oleh kedua orangtuanya. Orang tua seringkali menganggap anak tak banyak memiliki hak selain apa yang sudah ditetapkan dan menjadi kebiasaan. Misalnya ASI (air susu ibu), ini merupakan salah satu hak anak yang bahkan ditetapkan oleh Allah bersamaan dengan ketentuan kelahiran si anak. Ayat dalam Al Qur’an yang menggambarkan perjuangan seorang ibu mengandung sembilan bulan lamanya, menyatu dengan perjuangan menyusui hingga 2 tahun. Artinya, perjuangan seorang ibu tak selesai seiring usainya masa persalinan, melainkan terus hingga anak-anak yang sesungguhnya amanah Allah itu besar dan sudah sanggup membedakan mana yang benar dan salah untuk jalannya kemudian. Banyak hak anak yang selama ini tidak diakui para orang tua, misalnya saja untuk berpendapat. “Huss, anak kecil tahu apa…”, “Anak kemarin sore, sudah pintar ngomong macam-macam” adalah contoh dari sekian banyak penafian hak anak dalam keluarga. Sebagai individu dan bagian dari sebuah keluarga, jika seorang anak sudah bisa berpikir dan mengeluarkan pendapat terhadap satu hal, selayaknya orang tua mau mendengarkan mereka. Sikap orangtua yang tak mau dan tak pernah memberikan kesempatan anak untuk berpendapat, apalagi melibatkan anak dalam pengambilan keputusan, adalah sikap otoriter yang bisa mengekang sehingga memungkinkan tumbuhnya benih-benih pembangkangan anak terhadap orang tua. Selama ini kita hanya mengenal beberapa hak anak seperti mendapatkan nama yang baik, memperoleh kasih sayang, pendidikan yang berkualitas, lingkungan yang baik, bahkan untuk anak perempuan, juga berhak untuk dipilihkan jodoh yang baik oleh orangtuanya. Itupun satu atau beberapa dari hak-hak tersebut masih sering terabaikan (diabaikan?) para orangtua yang salah kaprah memandang bentuk kasih sayang dan perhatian, juga salah memilihkan sarana pendidikan. Terlepas ada sebagian orangtua yang ‘terpaksa’ menyekolahkan anak mereka terkait soal ekonomi, tapi tak bisa disangkal jika banyak orangtua yang lebih mengutamakan pendidikan formal tanpa menganggap penting pendidikan agamanya. Betapa banyak kita mendengar orang tua yang teramat bangga terhadap kefasihan sang anak ber-cuap-cuap dengan bahasa asing, atau kemahirannya mengoperasikan komputer. Tapi disaat yang sama, mereka tenang dan tak merasa sedih anaknya tak mengerti baca tulis Al Qur’an. Sudahkah menjadi orang tua yang baik? Perkembangan teknologi, pesatnya arus informasi yang terus meningkat per detik, semakin membuat banyak orangtua tak berdaya melakukan filterisasi buat anak-anak mereka. Karena pada saat yang sama, orangtua-orangtua juga teramat kewalahan oleh padatnya acara dan kepentingan usaha, paling tidak oleh kesibukan mencari nafkah. Seorang ayah misalnya, sering beranggapan tugas utamanya adalah mencari nafkah dan mencukupi semua kebutuhan keluarga, termasuk anak-anak. Soal pendidikan, ibunyalah yang menjadi tumpuan. Lalu bagaimana dengan anak-anak ‘malang’ yang kedua orangtuanya sibuk bekerja? Guru di sekolah menjadi harapannya sebagai pengganti orangtua. Di rumah? Otomatis anak lebih banyak ‘dididik’ oleh Babysistter dan pembantu rumah tangga. Saat ini banyak berkembang model pendidikan plus yang menawarkan pendidikan ekstra dan berbagai macam janji plus-plus dengan harga yang juga wah plus-nya. Buat orang mereka yang berduit, mungkin bukan masalah berapapun biaya yang diminta agar anak mereka mendapatkan pendidikan terbaik. Tentu menjadi masalah tersendiri bagi orang tak punya, anak-anaknya harus mendapatkan sekolah dibawah standar dengan guru-guru yang juga pas-pasan. Kenapa harus saya katakan seperti ini? Karena guru-guru profesional dengan skill yang tinggi biasanya sudah dikontrak habis oleh sekolah-sekolah plus. Dan sisanya, mereka yang tidak terjaring ke kelompok guru profesional itulah yang ada di sekolah-sekolah standar. Yang menyedihkan, konsentrasi guru-guru itu masih harus terpecah oleh pikiran tentang biaya hidup yang tak bisa dipenuhi oleh gaji mereka yang jauh dibawah standar, bahkan tidak manusiawi, mengingat jasa guru yang melahirkan generasi-generasi bangsa berkualitas. Terlepas dari mampu tidaknya orangtua menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan bermutu, yang terpenting disadari adalah bahwa waktu mereka di sekolah hanya beberapa jam saja, dan sisanya dari 24 jam itu lebih banyak di rumah. Artinya, sebagus apapun sekolah tempat anak-anak itu ditempatkan, tetap saja peran orangtua harus lebih dimaksimalkan. Pertanyaannya? Siapkah para orangtua itu menjadi guru sebenarnya bagi anak-anak mereka? Sudahkah mempersiapkan diri dan meningkatkan kualitasnya selaku orangtua? Para orangtua harus menyadari, bahwa mereka tak bisa mengandalkan dan berharap banyak terhadap lembaga-lembaga pendidikan berkualitas, karena orangtua adalah guru terbaik buat anak-anaknya. Sebelum bercita-cita menjadikan anak mereka menjadi anak shalih, sudahkah keshalihan itu tercermin dalam sikap dan keseharian orangtua? Sebelum menginginkan anak-anak mengerti dan mentaati kewajibannya sebagai anak kepada orangtua, sudahkah orangtua memenuhi kewajibannya memenuhi hak anak-anak? Anak-anak butuh figur, dan itu hak mereka terhadap orangtuanya. Kasih sayang orangtua juga tak bisa tergantikan oleh materi yang berlimpah, apalagi oleh seorang babysitter atau pembantu rumah tangga. Tentu Anda para orangtua tak pernah berkeinginan dititipkan ke panti jompo oleh anak-anak Anda kelak, Anda juga tak pernah berharap anak-anak tak menghormati, tak menghargai dan acuh terhadap perintah dan nasihat Anda, sebagai balasan Anda tak pernah memberikan kesempatan mereka untuk berpendapat. Padahal kita mengerti, salah satu kebutuhan dasar manusia adalah didengarkan, dan anak tentu juga memiliki kebutuhan itu. Pernahkah Anda bermimpi anak-anak Anda rajin beribadah dan senantiasa mendo’akan Anda, baik disaat hidup maupun nanti Anda sudah tak lagi mendampingi mereka? Tentu Anda tahu apa yang harus dilakukan saat ini terhadap anak-anak sebelum mereka tumbuh menjadi manusia yang bukan Anda cita-citakan. Yakinlah, jika semua hak anak sudah anda penuhi, Anda boleh tersenyum di hari tua dan berbisik bangga, “Anak sukses itu, akulah orangtuanya”. Wallaahu ‘a’lam bishsowaab

Selasa, 12 November 2013

MEMBANGUN GENERASI RABANI

Pergantian generasi merupakan sunnatullah yang pasti akan terjadi pada suatu kaum atau bangsa. Apakah pergantian itu lebih baik atau lebih buruk dari generasi sebelumnya tergantung pada kesungguhan dalam mempersiapkan pengkaderan generasi yang akan datang. Jika dipersiapkan dengan baik dan sungguh-sungguh insya Allah akan menghasilkan suatu generasi yang lebih baik. Begitu pula sebaliknya jika asal-asalan maka akan menghasilkan suatu generasi yang lebih buruk dari generasi pendahulunya. Fonomena generasi saat ini Jika kita perhatikan kondisi pada akhir- akhir ini, terlihat adanya gejala demoralisasi di masyarakat. Kejahatan dan kekerasan hampir menjadi konsumsi kita setiap hari di media cetak dan elektronik. Perzinahan, aborsi dan kasus kecanduan narkoba menduduki peringkat tertinggi yang terjadi pada generasi muda. Sampai-sampai kekurang percayaan terhadap generasi muda saat ini akan diadakan tes keperawanan. E…ada apa ya generasi saat ini…? Mau kemana masa depan generasi kita ini…? Selain itu arus informasi yang masuk hampir tanpa batas, seperti mode/gaya hidup orang barat, telah diadopsi tanpa filter (saringan) dan dijadikan sebagai suatu kebiasaan dan kebanggaan. Fenomena ini hendaknya dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita sebagai orang tua. Apakah selama ini kita menjaga diri, keluarga dan masyarakat di sekitar kita agar tidak terkena dampak demoralisasi. Ataukah selama ini kita lupa dan melalaikannya. Anak merupakan amanah Allah yang meski dijaga dan dipelihara sehingga menjadi anak yang sholih dan sholihah. Allah dengan jelas memberikan perintah kepada kita dalam firmanNya : “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka….”. (At-Tahrim: 6) Gambaran karakter generasi dalam Al qur’an Karakter generasi menurut firman Allah dalam surat Maryam ayat 59 : “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang buruk) yang menyia- nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”. Karakter generasi yang buruk adalah memperturutkan hawa nafsu dan melalaikan sholat/ibadahnya kepada Allah. Ke mana hawa nafsunya condong, ke situlah ia berjalan. Generasi seperti ini tidak memperdulikan apakah sesuatu yang ia lakukan halal atau haram, dosa atau berpahala, yang terpenting bagi mereka tercapai semua yang diinginkannya. Dalam hal berpakaianpun yang penting mode atau sedang trend, tidak peduli apakah pakaian tersebut menutupi aurat atau malah mempertontonkan aurat. Generasi seperti ini hanya akan membawa kesesatan hidup di dunia dan di akhirat. Konsep Al qur’an mempersiapkan generasi Persiapan pembentukan generasi yang akan datang mutlak diperlukan sebagai suatu keharusan yang tidak bisa dibantah lagi. Sehingga perlu dipersiapkan dengan sebaik- baiknya, baik yang berkaitan dengan aqidahnya, pendidikannya, muamalahnya, juga yang berkaitan dengan akhlaknya, sehingga regenerasi yang berlangsung menghasilkan generasi baru yang lebih baik daripada pendahulunya. Penulis tidaklah muluk- muluk dalam mengungkapkan bagaimana mempersiapkan generasi yang ideal. Alangkah baiknya jika kita melihat teladan yang bisa kita contoh dari para nabi dalam mempersiapkan generasi yang akan datang. Dalam Al- Qur’an diungkapkan bahwa para nabi pun mempersiapkan masalah peralihan generasi ini dengan sebaik- baiknya. Hal ini terdapat pada surat Al- Baqarah ayat 132 dan 133 : “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak- anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak- anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam’. Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda- tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak- anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Tuhan- mu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya’.” Kita lihat di sini, pada surat Al- Baqarah ayat 132 bahwa akhlak dan aqidah generasi pengganti para nabi itu sama. Dalam hal ini persamaan ideologi dan idealisme antara generasi pendahulu dengan generasi berikutnya. Upaya mempersiapkan generasi pengganti supaya lebih baik daripada generasi pendahulunya dilakukan melalui proses pendidikan dan pembinaan. Penanaman nilai- nilai atau ideologi yang diwasiatkan atau diwariskan oleh generasi pendahulu itu tidak lain adalah nilai- nilai dan ideologi Islam yang sangatlah sempurna. Kewajiban orangtua atau generasi pendahulu memberikan modal yang paling utama bagi generasi muda dengan islamiyyatul hayah atau Islamisasi kehidupan, yang menginternalisasi nilai- nilai keislaman dalam ekonomi, pendidikan, politik, ataupun teknologi dalam kehidupan sehari- hari. Di dalam surat Al- Baqarah ayat 133, mengungkapkan tentang bagaimana perhatian (kekhawatiran) Nabi Ya’qub terhadap anak- anaknya (generasi pengganti) dalam hal aqidah dan ideologinya. Nabi Ya’qub mewariskan keyakinan, aqidah dan ideologi serta prinsip hidup (manhajul hayah) yang harus dipersiapkan bagi generasi penerus. Inilah contoh proses regenerasi yang dipersiapkan, yang tidak semata- mata berkaitan dengan masalah materi saja, tetapi juga berkaitan dengan manhajul hayahnya serta prinsip hidupnya. Pertanyaan bagi kita apakah pilihan kita mewariskan prinsip idealisme keislaman atau harta bagi anak- anak generasi penerus kita? Pemuda adalah generasi penerus estafet kepemimpinan yang mewarisi negeri Indonesia tercinta ini. Di tangan pemudalah nasib masa depan negeri Indonesia ini bergantung. Apabila generasi muda meiliki spiritualitas keimanan yang tinggi maka negeri ini akan tetap dalam keberkahan. Apabila para pemudanya berpegang teguh pada kebenaran maka masa depan negeri ini akan tetap dalam kebaikan. Apabila pemudanya memiliki integritas, kematangan jiwa dan intelektualitas maka ke depan negeri ini akan memiliki pemimpin yang unggul dan handal. Sebagaimana kalimat bijak “Pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari.” Karakter yang harus dimiliki generasi muda Generasi masa datang haruslah generasi muda yang cemerlang mewarisi dan berpedoman pada pola kepemimpinan Rasululullah SAW yaitu sidiq, amanah, tabligh dan fathonah. Generasi yang mempunyai sifat sidiq yang mampu jujur terhadap diri sendiri, terhadap orang lain serta jujur terhadap Allah SWT. Generasi yang memiliki sifat tabligh yang mampu menyebarkan kebenaran Islam, menebarkan kedamaian sehingga menjadikan lingkungan masyarakat yang damai. Generasi yang amanah dapat dipercaya, dihormati dikarenakan dalam diri yang amanah melekat nilai tanggungjawab sehingga generasi memiliki integritas yang tinggi. Generasi yang mempunyai sifat fathonah akan memiliki kecerdasan intelektualitas, emosional serta yang paling penting adalah kecerdasan spiritual sehingga mampu bersikap arif bjaksana dalam mengambil tindakan (the man of wisdom), berdisiplin tinggi serta dapat memilih sesuatu yang terbaik. Generasi rabbani merupakan sosok muslim yang ideal. Mudah- mudahan kita bisa membimbing dan mendidik keturunan dan keluarga kita agar menjadi generasi- generasi rabbani yang akan meneruskan perjuangan dan tegaknya diinul Islam menjadikan negara Indonesia yang dinaungi keberkahan dari Allah AWT. Wallahu a’lam bishowwab.